Setelah Rasulullah saw wafat dan wilayah-wilayah baru Islam sangat luas. Mulailah kebutuhan ijtihad para sahabat meningkat tajam. Hal ini disebabkan oleh dua hal: Masuknya Islam ke masyarakat baru membuat Islam berhadapan dengan problema yang tidak pernah terjadi di masa Rasulullah saw, tidak ada wahyu yang turun, dan terdapat keharusan untuk mengetahui hukum agama dan penjelasannya. Seorang sahabat Nabi tidak mengetahui keseluruhan sunnah Nabi. Karena Rasulullah saw menyampaikan atau mempraktekkan satu hukum syar’i di hadapan sebagian sahabat, atau bahkan di hadapan satu orang sahabat saja, tidak diliput
oleh keseluruhan sahabat. Hal ini mendorong sebagian sahabat berijtihad dalam masalah yang tidak diketahuinya dari Rasulullah saw, pada saat yang sama mungkin sahabat lain menerima langsung hukum syar’i ini dari Rasulullah. Jarak antara para sahabat yang berjauhan setelah wafat Umar bin Al Khaththab RA terbukalah ruang tampilnya dua madrasah yang berbeda dalam menggali fiqih: Madrasatul Hadits di Hijaz, disebut demikian karena kebanyakan mereka berpegang kepada riwayat hadits. Hijaz adalah lahan Islam pertama. Setiap penduduknya kadang memiliki satu hadits atau lebih. Sebagaimana tabiat dan problem masyarakat yang tidak mengalami banyak perubahan, sehingga tidak memerlukan ijtihad. Madrasatur-ra’yi di Kufah. Disebut demikian karena banyak menggunakan akal dalam mengenali hukum-hukum syar’i. Hal ini terpulang kepada sedikitnya hadits akibat sedikitnya sahabat di sana, dan karena banyaknya problema baru dalam masyarakat baru yang tidak ada dasarnya sama sekali. Pada awalnya perbedaan antara dua madrasah itu sangat tajam, hanya saja kemudian semakin menyempit bersama dengan perkembangan waktu, khususnya setelah pembukuan buku-buku hadits. Ditambah oleh keseriusan para ulama untuk menyaring dan menjelaskan mana yang shahih, dhaif/lemah, dan palsu, sehingga tidak banyak membutuhkan pendapat kecuali ketika tidak ada nash untuk satu masalah yang timbul. Adapun berijtihad dalam alur nash itu sendiri sudah ada di madrasatul hadits sebagaimana terdapat di madrasaturra’yi. Pada fase inilah terjadi perkembangan fiqih yang sangat besar, dan menjadi satu ilmu tersendiri, dengan menampilkan ulama-ulama besar, yang terkenal adalah ulama empat mazhab, yaitu: Abu Hanifah, An Nu’man bin Tsabit (80-150 H) dikenal dengan sebutan al imam al a’zham (ulama besar), berasal dari Persia. Pemegang kepemimpinan ahlurra’yi, pencetus pemikiran istihsan (menganggap baik sesuatu), dan menjadikannya sebagai salah satu sumber hukum Islam. Kepadanyalah mazhab Hanafi dinisbatkan. Malik bin Anas Al Ashbahi (93-179 H) Dialah imam ahli Madinah, menggabungnya antara hadits dan pemikiran dalam fiqihnya. Dialah pencetus istilah Al Mashalih al Mursalah (kebaikan yang tidak disebutkan dalam teks) dan menjadikannya sebagai sumber hukum Islam. Kepadanyalah mazhab Maliki dinisbatkan. Muhammad bin Idris Asy Syafi’i Al Qurasyi (150-204 H) Mazhabnya lebih dekat kepada ahlul hadits, meskipun ia banyak mengambil ilmu dari pengikut Abu Hanifah dan Malik bin Anas. Kepadanyalah mazhab Syafi’i dinisbatkan Ahmad bin Hanbal Asy Syaibaniy (164-241 H) Dia adalah murid imam Syafi’i, dan mazhabnya lebih dekat kepada ahlul hadits Dan kenyataannya sebelum munculnya para imam ini, bersama dan sesudah mereka itu terdapat ulama-ulama besar yang tidak kalah perannya terutama ulama di kalangan sahabat, seperti Abdullah ibn Mas’ud, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Umar dan Zaid bin Tsabit. Demikian juga ulama di masa tabi’in seperti Said bin Musayyib, Atha’ bin Abi Rabah, Ibrahim an Nakha’iy, Al Hasan AL Bashriy, Mak-hul dan Thawus. Kemudian para gurunya empat imam mazhab itu, dan ulama semasanya seperti Imam Ja’far Ash Shadiq, Al Auza’iy, Ibnu Syubrumah, Al Laits bin Sa’d, dll. Akan tetapi empat imam mazhab itu memiliki para pengikut yang merangkum pendapatnya, merapikannya, menjelaskannya, atau meringkasnya untuk disajikan dengan mudah kepada kaum muslimin. Sehingga kaum muslimin dapat memperoleh apa saja yang membantunya memahami hukum Islam dengan tersusun rapi. Kemudian diajarkan di masjid-masjid beberapa tahun. Demikianlah sehingga menjadi pondasi bagi kehidupan kaum muslimin, membuatnya sudah cukup sehingga mereka tidak perlu merujuk kepada buku-buku tafsir, atau hadits untuk mengetahui hukum Islam. Karena telah disajikan dengan metode mazhab fiqih yang instant.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar