Sejarah Perkembangan Fiqih Islam
1. Di Masa Rasulullah SAW Rasulullah SAW semasa hidupnya menjadi referensi setiap muslim untuk mengetahui hukum agamanya. Baik hukum itu diambil dari Al Qur’an maupun dari Sunnahnya; yang mencakup: Perbuatannya, ucapannya, dan ketetapannya. Hukum yang Rasulullah perintahkan adalah hukum Allah yang bersifat qath’iy meskipun berbentuk pemahaman terhadap ayat Al Qur’an atau tafsirnya. Karena peran Rasulullah adalah menjelaskan Al Qur’an. Firman Allah: “…Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An Nahl: 44),
akan tetapi para sahabat tidak selalu dekat dengan Rasulullah sehingga setiap saat bias bertanya kepadanya tentang hukum agama yang muncul, sebab di antara para sahabat ada yang musafir, mukim di negeri yang jauh. Maka apa yang bisa mereka lakukan jika ada masalah. Para sahabat berijtihad sebatas kemampuan dan pengetahuan mereka tentang hukum-hukum Islam dari prinsip-prinsip Islam yang bersifat umum. Sehingga ketika berjumpa dengan Rasulullah saw, mereka bertanya tentang apa yang dihadapi.
Kemungkinan Rasulullah mengiyakan ijtihad mereka, atau meluruskan jika ada kesalahan, tetapi Rasulullah tidak pernah sekalipun menolak prinsip ijtihad mereka. Seperti hadits Ammar bin Yasir RA berkata: Rasulullah mengutusku melaksanakan satu tugas, lalu saya junub dan tidak menemukan air. Kemudian aku berguling-guling di tanah seperti hewan. Kemudian aku menemui Nabi dan aku ceritakan hal ini, lalu bersabda: Sesungguhnya sudah cukup bagimu dengan kedua tanganmu, lalu Nabi memukulkan tangannya ke tanah dengan sekali tepukan, kemudian mengusapkan yang kiri pada tangan kanan, punggung tangan dan wajahnya. HR Asy Syaikhani dengan redaksi Muslim. Kadang sekelompok sahabat berbeda ijtihadnya sehingga ketika masalah itu disampaikan kepada Rasulullah saw, menetapkan ijtihad yang benar dan menjelaskan kesalahan yang salah. Pernah juga menerima dua ijtihad yang bertentangan, sebagaimana ketika memerintahkan kaum muslimin untuk berangkat ke Bani Quraidhah dengan bersabda: “Janganlah ada seseorang yang shalat Ashar kecuali di Bani Quraidhah. [1] Kaum muslimin segera berangkat, dan waktu Ashar hampir habis sebelum mereka sampai di Bani Quraidhah. Ada sebagian yang berijtihad dan shalat di jalan sehingga tidak ketinggalan waktu Ashar. Mereka mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak menghendaki kita untuk mengakhirkan shalat Ashar lewat waktunya. Dan yang lainnya berijtihad dengan tidak shalat Ashar sehingga sampai di Bani Quraidhah sesuai dengan perintah Nabi, sehingga mereka shalat Ashar setelah Isya’. Maka ketika hal ini sampai kepada Nabi, Nabi tidak mengingkari kedua kelompok ini. Ini menunjukkan kemungkinan multi kebenaran hukum syar’i untuk satu masalah hukum.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar