Selasa, 05 Juli 2011

Marhalah dakwah

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

Mutiara Ayat:


Ibnu Abbas RA saat menafsirkan ayat ini mengatakan, “Allah Taala memerintahkan melalui ayat ini kepada orang-orang mukmin untuk bersabar saat ia marah, bersikap santun saat bertemu orang jahil, dan memaafkan saat diperlakukan dengan buruk, dan jika mereka melakukan yang demikian ini maka Allah Taala akan menjaga mereka dari tipu daya Setan, serta lawan-lawan mereka akan tunduk kepada mereka seakan-akan sahabat yang amat akrab.” (Tafsir Ibnu Katsir, VII/181)

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkomentar tentang ayat ini, “Inilah para kekasih Allah, inilah para wali Allah, inilah orang-orang yang disucikan di sisi Allah, inilah orang-orang terbaik di sisi Allah, inilah makhluk yang paling dicintai Allah, karena mereka menyambut seruan Allah dengan dakwahnya, lalu mereka mengajak orang-orang lain untuk bersama-sama menyambut seruan-NYA dan beramal shalih dalam rangka taat kepada-NYA, lalu setelah itu mereka berkata: Sungguh kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri. Maka inilah para Khalifah Allah!” (Tafsir At-Thabari, XXI/469)

Sifat-Sifat Dai:

1. Tarbiyah Yang Matang

Hal yang pertama dilakukan oleh harakah ini adalah membangun al-mihwar at-tanzhimi, yang dicirikan dengan memperkuat hubungan para kader dengan Allah Taala, sehingga kader memiliki aqidah yang mendalam (al-iman al-amiq), pemahaman yang utuh (al fahmu ad-daqiq) dan amal yang berkelanjutan (al-amal al-mutawashil), sehingga mereka mampu memikul bagaimanapun beratnya beban dakwah ini karena:


1. Mengukur berat dan ringannya beban dakwah ini dengan timbangan Iman, bukan dengan perasaan dan logika manusia semata, sehingga sesuatu yang dianggap berat di sisi manusia menjadi ringan saja jika menggunakan aqidah dan iman, dan sebaliknya sesuatu yang dianggap remeh di sisi manusia bisa jadi amat besar di sisi Allah Taala:

إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ

“Kamu menganggapnya sesuatu yang ringan saja padahal ia di sisi Allah dosanya adalah amat besar.”(An-Nur:15)

2. Tiada tugas dakwah yang berat bersama keimanan seorang kader, dan tiada tugas dakwah yang ringan jika bersama kemunafikan:

لَوْ كَانَ عَرَضًا قَرِيبًا وَسَفَرًا قَاصِدًا لَاتَّبَعُوكَ وَلَكِنْ بَعُدَتْ عَلَيْهِمُ الشُّقَّةُ وَسَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَوِ اسْتَطَعْنَا لَخَرَجْنَا مَعَكُمْ يُهْلِكُونَ أَنْفُسَهُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

“Seandainya yang kamu serukan itu keuntungan yang cepat dan perjalanan yang dekat saja pastilah mereka semua mengikutimu, tetapi tempat yang kamu tuju itu terasa amat jauhnya oleh mereka.” (At-Taubah:42)

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا

“Dan di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati janjinya kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka adapula yang menunggu-nunggu tetapi mereka tidak sedikit pun mengubah janjinya.”(Al-Ahzab:23)

3. Tujuan seorang kader yang benar dalam dakwahnya adalah mardhatillah dalam melaksanakan kewajiban dakwahnya, tidak peduli apapun yang diminta oleh Sang Pemilik kita:

وَمَا لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَى إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى

“Padahal tiada seorang pun yang memberikan suatu nikmat kepadanya sehingga harus dibalasnya, tetapi ia memberikan itu semata-mata karena mencari keridhaan RABB-nya Yang Maha Tinggi.” (Al-Lail:19-20)

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا

“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu ini hanyalah karena mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan darimu dan tidak pula ucapan terima kasih.”(Al-Insan:9)

4. Sebaliknya tujuan seorang munafik adalah agar amalnya terlihat oleh manusia, sementara ia selalu berusaha menghindari tugas-tugas yang tidak kelihatan orang lain, memberatkan dan tidak disukainya:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (bermaksud) menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan jika mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas dan riya’ di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka berdzikir kepada Allah kecuali sedikit sekali.”(An-Nisa:142)

يَعْتَذِرُونَ إِلَيْكُمْ إِذَا رَجَعْتُمْ إِلَيْهِمْ قُلْ لَا تَعْتَذِرُوا لَنْ نُؤْمِنَ لَكُمْ قَدْ نَبَّأَنَا اللَّهُ مِنْ أَخْبَارِكُمْ وَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Mereka mengemukakan uzurnya kepadamu, apabila kamu telah kembali kepada mereka dari berperang. Katakanlah: Janganlah kalian mengatakan uzur , kami tidak percaya lagi kepadamu, karena Allah telah memberitahukan pada kami beritamu yang sebenarnya.”

Demikianlah wahai ikhwah ash shadiq wa akhawat ash shadiqah, kematangan tarbiyah ini tersirat dalam ayat yang kita bahas yaitu dalam ayat ke-30 dari surah Fush-shilat (2 ayat sebelum ayat di atas) yang ditunjukkan dengan terbentuknya aqidah yang shahih yaitu menyatakan bahwa رَبُّنَا اللَّهُ [1], lalu istiqamah[2] dalam hal tersebut sampai wafat[3] dan jaminan akan dimasukkan ke dalam Jannah Allah Taala[4]. Berkata Sayyid Quthb rahimahullah, “Istiqamah dalam ayat ini bermakna dalam perasaannya ke dalam dan dalam perilakunya ke luar, istiqamah dan bersabar dalam istiqamah tersebut, adalah sebuah hal yang berat dan sulit, sehingga barangsiapa yang mampu melakukannya akan mendapatkan pahala yang besar, yakni turunnya malaikat menghiburnya saat menjelang kematian, pernyataan kasih-sayang mereka, persahabatan mereka dan kabar gembira dari mereka dengan Jannah, dan diakhiri dengan bahwa semua kabar gembira itu disampaikan dari Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepadamu. Maka nikmat mana lagi yang lebih besar dari nikmat ini?”[5]

2. Memiliki Basis Sosial Yang Kuat

Hal kedua yang dilakukan oleh harakah Islam adalah membangun al-mihwar asy-sya’biy, yaitu membentuk basis sosial yang kuat di masyarakat melalui dakwahnya, baik di tempat tinggalnya maupun dimana pun dia berada. ini dicirikan oleh ayat ke-33 di atas melalui makna مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ [6], yaitu dengan segala kegiatan dakwah yang dilakukannya. Maka bagaimana bisa disebut seorang kader, jika masyarakat di daerah tersebut tidak berubah dengan dakwahnya.? Bahkan –naudzubillah- ia bahkan tidak dikenal sama sekali di tempatnya.? Lalu bagaimana kelak ia jika di Yaumil Qiyamah kelak dihadapkan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits shahih tentang tetangga, baik yang dekat maupun yang jauh الْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ (An-Nisa:36)

Selain di daerah sekitarnya, iapun hendaknya pandai bergaul dan merangkul orang ke pangkuan dakwahnya, karena Nabi SAW bersabda:

“Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik akhlaqnya” (H.R. Bukhari Muslim)

Artinya kebaikan budi pekerti seseorang merupakan ciri orang terbaik dalam syariah, baik budi pekertinya kepada manusia maupun tentunya budi pekertinya kepada Allah Taala. Dalam hadits lainnya disebutkan:

“Orang mukmin itu mudah akrab dan mudah diakrabi, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bisa akrab dan tidak bisa diakrabi.”[7] Jadi pandai bergaul, mudah akrab, cepat menarik simpati dalam berinteraksi, sepanjang dilakukan dengan menetapi adab-adab syar’iyah dan tidak melanggar larangan berinteraksi dengan orang lain, maka semua itu adalah tanda kebaikan seorang muslim di sisi Allah Taala.

Dalam hadits lainnya disebutkan:

“Manusia yang paling dicintai Allah Taala adalah yang paling bermanfaat di antara mereka, dan amal yang paling dicintai Allah Taala adalah membuat muslim lainnya bergembira, atau menghilangkan kesulitannya, atau melunasi utangnya, atau mengenyangkan laparnya, dan sungguh seorang muslim itu berjalan untuk memenuhi kebutuhan saudaranya muslim itu lebih dicintai Allah Taala daripada i’tikaf sebulan di masjidku ini, barangsiapa yang menahan marahnya maka Allah Taala akan menutupi aibnya, dan barangsiapa yang menahan amarahnya padahal ia mampu melampiaskan amarahnya maka Allah Taala akan memenuhi hatinya di Hari Kiamat kelak dengan harapan, dan barangsiapa yang berjalan memenuhi kebutuhan saudaranya sampai sempurna terpenuhi kebutuhannya maka Allah Taala akan meneguhkan berdirinya pada Hari dimana tersungkur kaki-kaki manusia di akhirat, dan ketahuilah bahwa keburukan akhlaq itu menghancurkan amal kalian sebagaimana cuka menghancurkan madu.” (H.R. At-Thabari dalam Al-Kabir, III/209; Ibnu Asakir dalam At-Tarikh, XVIII/1; di-shahih-kan oleh Albani dalam Ash-Shahihah, II/608)

Demikianlah seorang kader tidak pernah bersikap sombong dan senantiasa penuh pengertian dan kelembutan kepada semua orang, karena mereka ingat ketika Nabi mereka telah menjadi penguasa Arab, dan seorang Arab Badui dibawa ke hadapannya dengan tubuh gemetar ketakutan maka beliau SAW bersabda, “Tenangkan dirimu, aku ini bukanlah Raja, aku ini hanya anak seorang wanita Quraisy, yang biasa makan daging kering.” (H.R. Ibnu Majah, Ibnu Sa’ad, Al-Hakim dan Al-Haitsami)

3. Melakukan Ekspansi ke Semua Lini

Berikutnya adalah membentuk al-mihwar al-mu’assasi, yang dalam ayat ke-34 di atas disebutkan secara tersirat sebagai sikap: Membalas kejahatan dengan kebaikan, berdiplomasi dengan cara yang terbaik, sehingga bahkan bisa membuat musuh kita menjadi teman setia. Perlu ditegaskan di sini bahwa politik dan dakwah tidak bisa dipisahkan, bahkan turunnya syariat tertinggi dalam Islam yaitu shalat, salah satu bentuknya –yaitu shalat Khauf- adalah karena sebab urusan politik (peperangan). Nabi SAW menunaikan shalat di tengah-tengah pertempuran bersama para sahabatnya di daerah Asfan[8], yaitu ketika beliau SAW mengetahui posisi kaum musyrikin di bawah pimpinan Khalid bin Walid sudah amat dekat dengan mereka[9]. Dalam kitab Al-Imta’ ada tambahan sebagai berikut[10]:

Saat pasukan Khalid sampai ke dekat posisi kaum muslimin, maka ia menempati posisi antara kaum muslimin & arah Kiblat, saat datang waktu shalat Zhuhur maka seluruh kaum muslimin melakukan shalat berjamaah di belakang Nabi SAW, setelah selesai mereka kembali menempati posisinya, maka berkatalah Khalid dalam hatinya, “Sungguh mereka tadi lalai, jika kita serang tadi, niscaya mereka akan dapat dikalahkan.” Saat tiba waktu shalat Ashar -karena bagi kaum muslimin shalat lebih mereka cintai dari nyawa mereka dan anak-anak mereka- maka mereka semua bersiap akan shalat, lalu datanglah Jibril membawa ayat 102 surat An-Nisa sehingga mereka melakukan shalat dengan aturan shalat Khauf, melihat perubahan cara tersebut berkatalah Khalid dalam hatinya, “Tahulah aku bahwa orang-rang ini ada pembelanya, karena siapakah yang memberi tahu orang-orang ini tentang taktik yang aku baru rencanakan dalam hatiku untuk menyergap mereka saat mereka lalai?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar