KEDUDUKAN HARTA DALAM ISLAM
Oleh : Nabilah Akrom MA
Adalah fitrah manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya baik secara lahiriyah maupun batiniah. Hal
ini mendorong manusia untuk senantiasa berupaya memperoleh segala
sesuatu yang menjadi kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhan lahiriyah identik
dengan terpenuhinya kebutuhan dasar (basic needs) berupa sandang,
pangan dan papan. Tapi manusia tidak berhenti sampai disitu, bahkan
cenderung terus berkembang kebutuhan-kebutuhan lain yang ingin dipenuhi.
Segala kebutuhan itu seolah-olah bisa terselesaikan dengan
dikumpulkannya Harta sebanyak-banyaknya. Maka apa sebenarnya hakekat harta dan bagaimana pandangannya dalam Islam?
A. PENGERTIAN HARTA
Istilah HARTA, atau al-mal
dalam al-Quran maupun Sunnah tidak dibatasi dalam ruang lingkup makna
tertentu, sehingga pengertian al-Mal sangat luas dan selalu berkembang.
Kriteria harta menurut para ahli fiqh terdiri atas : pertama,memiliki unsur nilai ekonomis.Kedua, unsur manfaat atau jasa yang diperoleh dari suatu barang.
Nilai ekonomis dan manfaat yang menjadi kriteria harta ditentukan berdasarkan urf (kebiasaan/ adat)
yang berlaku di tengah masyarakat.As-Suyuti berpendapat bahwa istilah
Mal hanya untuk barang yang memiliki nilai ekonomis, dapat
diperjualbelikan, dan dikenakan ganti rugi bagi yang merusak atau
melenyapkannya.
Dengan demikian tempat bergantungna status al-mal terletak
pada nilai ekonomis (al-qimah) suatu barang berdasarkan urf. Besar
kecilnya al-qimah dalam harta tergantung pada besar ekcilnya anfaat
suatu barng. Faktor manfaat menjadi patokan dalam menetapkan nilai
ekonomis suatu barang. Maka manfaat suatu barang menjadi tujuan dari
semua jenis harta.
B. PANDANGAN ISLAM MENGENAI HARTA
Pandangan Islam mengenai harta dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Pemiliki
Mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah ALLAH
SWT. Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk
melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan
ketentuanNya (QS al_Hadiid: 7). Dalam sebuah Hadits riwayat Abu Daud,
Rasulullah bersabda:
Seseorang pada Hari Akhir nanti
pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan,
jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan dan
untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dipergunakan.
Kedua, status harta yang dimiliki manusia adlah sebagai berikut :
1. harta
sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang
amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada.
2. Harta
sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya
dengan baik dan tidak berlebih-lebihan ( Ali Imran: 14). Sebagai
perhiasan hidup harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan serta
kebanggaan diri.(Al-Alaq: 6-7).
3. Harta sebgai
ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan dan
memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak (al-Anfal:
28)
4. harta
sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksankan perintahNyadan
melaksanakan muamalah si antara sesama manusia, melalui zakat, infak,
dan sedekah.(at-Taubah :41,60; Ali Imran:133-134).
Ketiga, Pemilikan
harta dapat dilakukan melalui usaha (amal) ataua mata pencaharian
(Maisyah) yang halal dan sesuai dengan aturanNya. (al-Baqarah:267)
Sesungguhnya Allah mencintai
hambaNya yang bekerja. Barangsiapa yang bekerja keras mencari nafkah
yang halal untk keluarganya maka sama dengan mujahid di jalan Allah (HR
Ahmad).
Mencari rezki yang halal adalah wajib setelah kewajiban yang lain(HR Thabrani)
jika telah melakukan sholat subuh janganlah kalian tidur, maka kalian tidak akan sempat mencari rezki (HR Thabrani).
Keempat, dilarang
mencari harta , berusaha atau bekerja yang melupakan mati
(at-Takatsur:1-2), melupakan Zikrullah/mengingat ALLAH (al-Munafiqun:9),
melupakan sholat dan zakat (an-Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan hanya
pada sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr: 7)
Kelima: dilarang
menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba (al-Baqarah:
273-281), perjudian, jual beli barang yang haram (al-maidah :90-91),
mencuri merampok (al-Maidah :38), curang dalam takaran dan timbangan
(al-Muthaffifin: 1-6), melalui cara-cara yang batil dan merugikan
(al-Baqarah:188), dan melalui suap menyuap (HR Imam Ahmad).
C. KEPEMILIKAN HARTA
Di atas telah disinggung bahwa Pemilik Mutlak adalah Allah SWT. Penisbatan kepemilikan kepada Allah mengandung tujuan sebagai
jaminan emosional agar harta diarahkan untuk kepentingan manusia yang
selaras dengan tujuan penciptaan harta itu sendiri.
Namun demikian, Islam mengakui
kepemilikan individu, dengan satu konsep khusus, yakni konsep khilafah.
Bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi yang diberi kekuasaan dalam
mengelola dan memanfaatkan segala isi bumi dengan syarat sesuai dengan
segala aturan dari Pencipta harta itu sendiri.
Harta dinyatakan sebagai milik
manusia, sebagai hasil usahanya. Al-Quran menggunakan istilah al-milku
dan al-kasbu (QS 111:2) untuk menunjukkan kepemilikan individu ini.
Dengan pengakuan hak milik perseorangan ini, Islam juga menjamin
keselamatan harta dan perlindungan harta secara hukum.
Islam juga mengakui kepemilikan
bersama (syrkah) dan kepemilikan negara. Kepemilikan bersama diakui pada
bentuk-bentuk kerjasama antar manusia yang bermanfaat bagi kedua belah
pihak dan atas kerelaan bersama. Kepemilikan Negara diakui pada
asset-asset penting (terutama Sumber Daya Alam) yang pengelolaannya atau
pemanfaatannya dapat mempengaruhi kehidupan bangsa secara keseluruhan.
D. METODE MEMPEROLEH DAN MEMBELANJAKAN HARTA
Untuk memperoleh harta dapat
ditempuh dengan beberapa cara dengan prinsip sukarela, menarik manfaat
dan menghindarkan mudarat bagi kehidupan manusia, memelihara nilai-nilai
keadilan dan tolong menolong serta dalam batas-batas yang diizinkan syara(hukum ALLAH)
Di antara cara memperoleh harta dapat disebutkan yang terpenting:
a. Menguasai benda-benda mubah yang belum menjadi milik seorang pun.
b. Perjanjian-perjanjian hak milik seperti jual-beli, hibah (pemberian/.hadiah), dan wasiat
c. Warisan sesuai dengan aturan Islam
d. Syufah,
hak membeli dengan paksa atas harta persekutuan yang dijual kepada
orang lain tanpa izin para anggota persekutuan yang lain.
e. Iqtha, pemberian dari pemerintah
f. Hak-hak keagamaan seperti bagian zakat, bagi amil, nafkah istri, anak, dan orang tua.
Cara memperoleh harta yang dilarang
ialah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut di atas, yaitu
memperoleh harta dengan cara-cara yang mengandung unsur paksaan dan
tipuan yang bertentanga dengan prinsip sukarela, seperti merampas harta
orang lain, menjual barang palsu, mengurangi ukuran dan timbangan, dan
sebagainya. Kemudian memperoleh hartanya dengan cara yang justru
mendatangkan mudharat/keburukan dalam kehidupan masyarakat, seperti jual
beli ganja, perjudian, minuman keras, prostitusi,dan lain sebagainya.
Atau memperoleh harta dengan jalan yang bertentangan dengan nilai
keadilan dan tolong menolong, seperti riba, meminta balas jasa tidak
seimbang dengan jasa yang diberikan. Juga menjual barang dengan harga
jauh lebih tinggi dari harga yang sebenarnya, atau bisa dikatakan
mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Mengenai pembelanjaan harta, Islam
mengajarkan agar membelanjakn hartanya mula-mula untuk mencukupkan
kebutuhan dirinya sendiri, lalu untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang
menjadi tanggungannya, barulah memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam
pemenuhan kebutuhan ini, Islam mengharamkan bermegah-megah dan
berlebih-lebihan (Israf dan mubazir). Karena sifat ini cenderung kepada
penumpukan harta yang membekukan fungsi ekonomis dari harta tersebut.
Untuk itulah pada satu takaran
tertentu harta dikenai wajib zakat. Zakat merupakan implementasi
pemenuhan hak masyarakat dan upaya memberdayakan harta pada fungsi
ekonomisnya.
Ringkasnya, aturan dalam memperoleh harta dan membelanjakan harta, didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Prinsip Sirkulasi dan perputaran. Artinya
harta memiliki fungsi ekonomis yang harus senantiasa diberdayakan agar
aktifitas ekonomi berjalan sehat. Maka harta harus berputar dan bergerak
di kalangan masyarakat baik dalam bentuk konsumsi atau investasi.sarana
yang diterapkan oleh syariat untuk merealisasikan prinsip ini adalah
dengan larangan menumpuk harta, monopoli terutama pada kebutuhan pokok,
larangan riba, berjudi, menipu.
2. Prinsip jauhi konflik. Artinya
harta jangan sampai menjadi konflik antar sesama manusia. Untuk itu
diperintahkan aturan dokumentasi, pencatatan/akuntansi, al-isyhad/saksi,
jaminan (rahn/gadai).
3. Prinsip Keadilan.
Prinsip keadilan dimaksudkan untuk meminimalisasi kesenjangan sosial
yang ada akibat perbedaan kepemilikan harta secara individu. Terdapat
dua metode untuk merealisasikan keadilan dalam harta yaitu perintah
untuk zakat infak shadaqah, dan larangan terhadap penghamburan
(Israf/mubazir).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar